Minggu, 19 Juni 2016

Islamisasi Yes, Arabisasi No

Islamisasi Yes, Arabisasi No,Aja kaya Kacang Lupa Kulitnya
‪#‎asukluruk‬ 13 Ramadhan 1437 H / 18 Juni 2016
Saur seadanya dan secukupnya. Sebelum keluar kedepan, teras rumah, memandang kubah musholah. Menatap langit dengan kerlip bintang, samar. Indosiar menayangkan seri Aksi, saya kurang suka dengan tayangan ini, bangun tidur usai ini itu dan mengambil makan sahur, yang aku cari adalah siaran langsung Euro di Prancis. Spanyol Vs Turki. Tidak perlu berfikir materi bagus atau jelek, tampan atau cantik, acting ketika harus tersingkir, komentar ini itu aaah
Sepak bola lebih pyur dalam menayangkan kerja keras dan usaha lari sana sini demi memasukkan bola kedalam gawang. Yaaa permainan lelaki satu ini memang joz, meski kini perempuan dengan isu gendernya, eh sejak dulu ding, ada juga yang main bola. Ya sadar atau tidak, mau atau tidak mau, bahkan setuju atau tidak setuju, olahraga sepakbola adalah olahraga pria. Sepakbola, tinju, basket, gulat. Ukurannya begini, permainan itu indah jika yang bemain pria. Iya to…. Coba kalau yang main sepakbola wanita, atau olah raga lainnya, pasti deh ada rasa yang kurang menarik. Ini versi saya lho, anda boleh tidak setuju.. mari berfikir.
Kembali ke jonggol, tadi itu di indosiar adalah Syarif, peserta Aksi Indosiar yang tampil menyampaikan materi kepahlawanan Hanoman. Jangan sampai kita sebagai manusia kalah dengan Hanoman. Saya berfikir, kapan ada kita bersaing dengan Hanoman? Wkwkwk goblok to saya, mikir itu semua. Ah ngapain juga.
mama Dedeh komentar bahwa sarif bagus menyampaikan wayang mengingat sebain penonton oranh jawa. wijayanto komen menyebit istilah arab yang di jawakan. inilah yang mmbut saya tehenyak sedikit melirik, menjadi tema dalam cerewet tulisan saya ini. wwwwwwwkkkkk.
Maksud saya begini, anda tau walisongo? Hahahah ini pertanyaan konyol. Jelas tau. Sebagian walisongo adalah warga asli jawa, sebagian lagi warga keturunan, atau naturalisasi. Anda tau bahwa walisongo, mengislamkan penduduk nusantara dengan pendekatan budaya kata orang akademik disebut sebagai akulturasi.
Sunan bonag menciptakan gending, gamelan wayang dan sebagaina sebagai sarana dakwahnya. Sunan kalijogo menciptakan tokoh wayang dan lagu-lagu jawa sebagai wasilatutdakwah. Konon masyarakat disuguhi pertunjukan wayang dalam area masjid. Oleh sunan Kalijogo, Siapa saja boleh masuk dan melihat pertunjukan asal dengan kesadarannya mereka bersuci kemudian membaca dua kalimah shahadat. Baru setelahnya, masyarakat dikasih materi keislaman.
Nenek moyang kita, masuk islam dengan cara-cara dan pendekatan budaya. Tidak memaksa dan tertarik mengingat islam disampaikan dengan cara yang simpatik. Konon begitu.
Sekarang? Ah beda jaman, budaya juga sudah bergeser. Akulturasi sudah berubah warna dan corak. Yang sudah banyak ditinggalkan. Konon katanya masjid-masjid sudah berubah dari masjid jawa ke masjid versi timur tengah. Entahlah
.
Teringat pernyataan pemipin grup sholawat dari salatiga, yang menyampaikan kekhawatirannya bahwa masyarakat islam di jawa tengah, jawa timur atau jawa barat, kemudian menjadi mengharamkan atau menjauhi gending, gamelan, kendang, bonang, slenthem, rebab, gong, saron calung dan sebaginya. Karena semua alat-alat gamelan tadi diharamkan oleh syeh atau ustadz timur tengah. Bwah……
Mereka warga islam jawa, lupa bahwa mereka menjadi islam, memeluk agama islam, ayah ibu mereka muslim, mbah mbah buyut moyang mereka muslim, atas jasa Sunan- sunan dan wali di tanah jawa menggunakan cara-cara jawa. Bahkan para syeh dari tanah sebrang itu, sekarang tidak lagi kemudian bedakwah mengajak memeluk islam. Kebanyakan mereka menyampaikan materi ilmunya juga kepada orang-orang yang sudah islam. Lhoh…. Iya toh…..
Kembali ke si bapak tadi, maksud saya pimpinan grup sholawat dari Kabupaten semarang itu, dia mengatakan begini. Saya berkendara dari anyer sampai ke Jawa bagian timur sekali, masjid-masjid bernuansa jawa sudah tidak ada, dipinggir-pinggir jalan raya, semua masjid sudah sangat bagus, megah dan indah. Tapi ini masjid versi timur tengah. Bukan masjid-masjid versi jawa. Lho kita tinggal di jawa, bukan di timur tengah, apakah jawa akan di jadikan timur tengah, tidak kan?
Dan leih miris lagi, tidak ada satu masjidpun memiliki gamelan sebagai pendekatan sarana mengumpulkan jamaah. Kalah dengan gereja yang ada di semarang, seminggu tiga kali, remaja-remaja gereja dilatih gamelan. Wow……..
Yang tersisa di masjid-masjid kita tinggal beduk atau jidur. Ya. Paling banyak rebana dan itu jelas bukan dari kita sebagai budaya jawa asli. Iya kan?
Pertanyaannya adalah…… )tak sholat subuh sek ya….) begini, akankah kita sebagai orang jawa melihat dan menyaksikan ramalan joyoboyo, Bahwa aka nada mas dimana wong jowo gari separo, wong jawa ilang jawane, pasar ilang kumandange.
“Kata tetagga sebelah” Wong jawa gari separo....tinggal orangnya saja jawa, masih bahasa jawa, masih suka rawon,pecel dan sambel terasi...suluk kulo nuwun sudah hilang. Pakaian jarik kebaya yang pakai malah orang bali...otak dan hatinya sudah bukan jawa apa lagi budayanya... Jawa artinya tidak punya musuh kenyataanya rukun sama saudara sendiri aja tidak. Saling curiga iya...
Yang konon selalu diributkan kalau nggak uang ya agama. padahal agama itu sekedar peta dan aturan lalu-lintas menuju tuhan mau liwat manapun silahkan mau pakai nama tuhan yang manapun silahkan..
Bung Karno pernah berpidato.”kalau jadi hindu jangan jadi orang india, kalau jadi islam jangan jadi orang arab, kalau jadi kristen jangan jadi orang yahudi. tetaplah jadi orang nusantara dengan adat-budaya nusantara yang kaya raya ini.
Artinya kita kehilangan jatidiri sebagai orang dengan tumpah darah di tanah jawa, menjadi manusia yang seperti kacang lupa kulit, mangan, turu, ngising, lahir, dolan, gedi di tanah jawa, sekolah pinter di tanah jawa, gurunya orang jawa, namun setelah itu lupa siapa kita, menjunjung tinggi budaya timur tengah. Aaaah Islamisasi Yes, Arabisasi No.
Salam seduluran.
Kendal 18 Juni 2016.

Tidak ada komentar: