Minggu, 19 Juni 2016

Anak Macan Bukan Macan #asukluruk


Selama awal puasa ramadhan hingga pertengahan ini, aku nyaris agak jauh dari berkata-kata yang kata orang kotor. Dalam kondisi marah lho ya. Kalau dalam posisi bercanda, atau guyonan sepertinya beberapa kali. Konon tujuankau adalah menjaga puasaku. Tujuanku itu, berusaha memainkan puasa sebersih mungkin.
Tapi hari ke empat belas, pada waktu berbuka puasa, aku terpaksa berkata “Asu” bukan aku tunjukan kepada seseorang atau pribadi, tapi aku katakana “Asu” pada kelakuan buruk, perilaku buruk yang tidak terkendali. Ya aku iki ngasu-asu prilaku elek dudu ngasu-asu wonge. Wonge jelas menungsa. Perilakunya yang masih harus banyak diperbaiki. Agar tidak liar.
Isteriku yang sedang berbuka bersamaku, langsung pergi, sambil menangis. Menyesali kataku. Pada posisiku dia bisa saja bersabar. Menahan diri, karena alas an apa saja. Takut, takut kualat, takut apa saja. Sementara aku sebagai pria tentu tidak boleh lembek, harus kuat, meski kadang sedikit kasar dank eras. Lelaki memang harus begitu. Apa kata dunia jika lelaki sifatnya lembek dan takut pada sesuatu yang dianggapnya benar.
Ceitanya begini, jam 17.15 mendekati waktu berbuka wilayah Kendal. Penjual sate ayam, datang dan langsung memarkir kendaraan di samping mushola. Anakanak mulai berkerumun mengantri untuk membeli.
Anakku ambil uang untuk membeli sate. Uang seribu yang terdiri atas 100 rupiah yang diisolasi agar tidak tercerai berai. Dan 3 uang 500 rupiah. Dia segera berlari kearah penjual sate.
Aku menyusulnya. Sudah mengantri beberapa anak, termasuk si Bwoszki anak orang penting di kampong.  Dia bersama Doni sedang mengantri juga. Nah anakku, namanya juga anak-anak dia meletakkan uang seribu receh seratusan itu pada tempat tukang sate menyiapkan dan mengemas jualannya untuk disampaikan kepada pembeli. Nah tempatnya tidak datar aliar rada miring, sehinga uang yang ditaruh anakku menggelinding. Jatuh persis dihadapan Bwoszki. Santai dia ambil, kemudian “memegang erat” uang recehan seribu tadi. Sementara anakku sudah bermain bersama tantenya, yang juga kesitu untuk beli sate.
Uang aku minta. Namun dengan jawaban ketus, Bwoszki tidak memperbolehkan. Dipikirnya itu uang Doni. “Lho iku diwite raja”kataku. Penjual sate kepada Bwoszki mengatakan “Iku duite adike kae” tegasnya.
Wherrrr, oleh Bwoszki uang dibuang, dilemparkan. Mak blezzzz…… aku langsung naik pitam. Aku kendalikan diri, ah anak-anak. Dasar.  
Aku pegang tangan Bwoszki,” lho ko malah dibuang, iki duite Raja dudu duite Doni, ngawur ae” kataku agak keras.
Mendadak tanpa babibu Bwoszki memukuli aku, punggungku, perutku. Pertama sakit, kedua masih sakit, ketiga sakitnya berkurang, mungkin karena sudah capek, keempat aku sudah siap, aku biarkan saja. Bwoszki berhenti memukul dan menangis.
“Iki duite Raja dudu duite Doni” tegasku. Bwoszki berganti mencubit lenganku, sakit, perih dan panas. Cuk tenan rasane. Dari kejauhan kudengan isteriku berteriak, “Lagi opo masss” dia memperingatkanku dengan bahasanya.
Sementara cubitan berkali-kali, satu dantaranya membuat luka, berdarah di lenganku, Setan. Kemudian aku berfikir piye carane ben gak sakit, aku berfikir untuk membuat semacam hypnosis kepada diriku sendiri bahwa lenganku adalah batu yang keras. Aku ngotot pada lenganku kemudian dengan sedikit keras aku bilang pada Bwoszki. “Ayo maneh- maneh”kataku.
Mataku sedikit melotot sehingga, Bwoszki menghentikan aktivitasnya, mencubitku. Aku kemudian bermain dengan anakku yang menemukan jeruk bali mentah sebutir di teras rumah samping mushola. Sementara menunggu antrian sate.
Dari arah utara muncul Mupa yang mungkin mau membeli sesuatu di warung. Rupanya si Bwoszki masih belum puas memukulku, sehingga kemudian dia menendang Mupa. “Weih… Ngawur kowe, anak pejabat ko ngono….. ngawur, Loro.. negrti rak, anak pejabat tapi kelakuanmu koyok ngono, loro ngerti rak….”
Mupa ini orangnya underquality. Agak kurang genep, meskipun demikian, tidak semestinya Bwoszki menendangnya, kan tidak salah apa-apa. Jiancuk tenan cen Bwoszki.
Sejurus kemudian, maghrib datang, aku dan anakku pulang. Membaca doa minum eh anget, aku ambil makan berbuka secukupnya. Kemudian di depan TV isteriku juga sedang berbuka.
Tadi si Bwoszki memungut uang Raja, yang jatuh saat ditaruh di papan tukang sate. Lha tak jalok ko malah aku diantemi dijiwit sampe lecet.
Istriku menjawab, karan bocah.
Lha nek aku tok rak masalah lha kae mua, rak ngerti opo-opo ditendang. Iki nek diteruske, gak ana sing diwedeni, kaya apa gedine.
‘Sing penting anake dewe orak koyo ngono”. Jelas isteriku
“Memang koyok ngono wes porah” ibu mertuaku ikut menimpali.
“Lha iya memang awak dewe iki wong cilik, tapi nek gak bener ko dijorke wae Bwoszki iku keterlaluan. Asu-asu….”  Kataku begitu.
Isteriku kemudian terdiam, anakku sibuk bermain di ranjang. Semua diam dan tidak ada kata lagi. Isteriku tampak kehilangan selera makan. Semua diam. Dalam pikiran masing-masing. Aku menyudahi makan buka puasaku. Emosi masih agak tinggi.
Betapa kelakuan anak pejabat, anak orang terhormat, tidak bisa sopan santun kepada orang tua. Cara bicara, cara ngomongnya. Bukan dia yang hebat, dia belum apa-apa, dia hanya anak orang hebat. Dia hanya anak macan, yang macan itu ayahnya. Anak macan tidak takut pada singa dewasa, hanya karena ayahnya macan. Bahaya, kalau tidak ingat bahwa dia anak macan sudah diterkam si Singa. Semua orang begitu pola pikirnya.
Si Bwoszki kalau tidak karena penghormatan orang kepada orang tuanya, saya pastikan sudah akan banyak menerima hukuman dan umpatan dari warga. Seperti orang lain seusianya, atau orang lain yang kurang ajar sepertinya.
Yaaaa… Ingat bahwa anak macan bukan macan. Penghormatan yang diberikan itu pengormatan klise, jangan dipikir orang saying padamu. Berperilakukah sewajarnya. Anak pejabat bukan pejabat.
Aku tidak pernah kahwatir atau takut kepada siapapun itu. Termasuk pejabat, kyai, lurah, camat. Semua aku posisikan pada kodrah bahwa dia manusia. Merasa sakit juga jika dijiwit, merasa sakit jika dipukul. Aku tidak memukul karena jika dipukul aku merasakan sakit. Dan Gusti Allah Maha Adil dalam hal ini. PASTI. Ingat anak macan bukan macan. Baru calon macan, nek kopen dan nek tekan. Diancuk.








Tidak ada komentar: