Selama awal puasa ramadhan hingga
pertengahan ini, aku nyaris agak jauh dari berkata-kata yang kata orang kotor. Dalam
kondisi marah lho ya. Kalau dalam posisi bercanda, atau guyonan sepertinya
beberapa kali. Konon tujuankau adalah menjaga puasaku. Tujuanku itu, berusaha
memainkan puasa sebersih mungkin.
Tapi hari ke empat belas, pada
waktu berbuka puasa, aku terpaksa berkata “Asu” bukan aku tunjukan kepada
seseorang atau pribadi, tapi aku katakana “Asu” pada kelakuan buruk, perilaku
buruk yang tidak terkendali. Ya aku iki ngasu-asu prilaku elek dudu ngasu-asu
wonge. Wonge jelas menungsa. Perilakunya yang masih harus banyak diperbaiki. Agar
tidak liar.
Isteriku yang sedang berbuka bersamaku,
langsung pergi, sambil menangis. Menyesali kataku. Pada posisiku dia bisa saja
bersabar. Menahan diri, karena alas an apa saja. Takut, takut kualat, takut apa
saja. Sementara aku sebagai pria tentu tidak boleh lembek, harus kuat, meski kadang
sedikit kasar dank eras. Lelaki memang harus begitu. Apa kata dunia jika lelaki
sifatnya lembek dan takut pada sesuatu yang dianggapnya benar.
Ceitanya begini, jam 17.15
mendekati waktu berbuka wilayah Kendal. Penjual sate ayam, datang dan langsung
memarkir kendaraan di samping mushola. Anakanak mulai berkerumun mengantri
untuk membeli.
Anakku ambil uang untuk membeli
sate. Uang seribu yang terdiri atas 100 rupiah yang diisolasi agar tidak
tercerai berai. Dan 3 uang 500 rupiah. Dia segera berlari kearah penjual sate.
Aku menyusulnya. Sudah mengantri
beberapa anak, termasuk si Bwoszki anak orang penting di kampong. Dia bersama Doni sedang mengantri juga. Nah anakku,
namanya juga anak-anak dia meletakkan uang seribu receh seratusan itu pada
tempat tukang sate menyiapkan dan mengemas jualannya untuk disampaikan kepada
pembeli. Nah tempatnya tidak datar aliar rada miring, sehinga uang yang ditaruh
anakku menggelinding. Jatuh persis dihadapan Bwoszki. Santai dia ambil,
kemudian “memegang erat” uang recehan seribu tadi. Sementara anakku sudah
bermain bersama tantenya, yang juga kesitu untuk beli sate.
Uang aku minta. Namun dengan
jawaban ketus, Bwoszki tidak memperbolehkan. Dipikirnya itu uang Doni. “Lho iku
diwite raja”kataku. Penjual sate kepada Bwoszki mengatakan “Iku duite adike kae”
tegasnya.
Wherrrr, oleh Bwoszki uang
dibuang, dilemparkan. Mak blezzzz…… aku langsung naik pitam. Aku kendalikan
diri, ah anak-anak. Dasar.
Aku pegang tangan Bwoszki,” lho
ko malah dibuang, iki duite Raja dudu duite Doni, ngawur ae” kataku agak keras.
Mendadak tanpa babibu Bwoszki
memukuli aku, punggungku, perutku. Pertama sakit, kedua masih sakit, ketiga
sakitnya berkurang, mungkin karena sudah capek, keempat aku sudah siap, aku
biarkan saja. Bwoszki berhenti memukul dan menangis.
“Iki duite Raja dudu duite Doni”
tegasku. Bwoszki berganti mencubit lenganku, sakit, perih dan panas. Cuk tenan
rasane. Dari kejauhan kudengan isteriku berteriak, “Lagi opo masss” dia
memperingatkanku dengan bahasanya.
Sementara cubitan berkali-kali,
satu dantaranya membuat luka, berdarah di lenganku, Setan. Kemudian aku
berfikir piye carane ben gak sakit, aku berfikir untuk membuat semacam hypnosis
kepada diriku sendiri bahwa lenganku adalah batu yang keras. Aku ngotot pada
lenganku kemudian dengan sedikit keras aku bilang pada Bwoszki. “Ayo maneh-
maneh”kataku.
Mataku sedikit melotot sehingga, Bwoszki
menghentikan aktivitasnya, mencubitku. Aku kemudian bermain dengan anakku yang
menemukan jeruk bali mentah sebutir di teras rumah samping mushola. Sementara menunggu
antrian sate.
Dari arah utara muncul Mupa yang
mungkin mau membeli sesuatu di warung. Rupanya si Bwoszki masih belum puas
memukulku, sehingga kemudian dia menendang Mupa. “Weih… Ngawur kowe, anak
pejabat ko ngono….. ngawur, Loro.. negrti rak, anak pejabat tapi kelakuanmu
koyok ngono, loro ngerti rak….”
Mupa ini orangnya underquality. Agak
kurang genep, meskipun demikian, tidak semestinya Bwoszki menendangnya, kan
tidak salah apa-apa. Jiancuk tenan cen Bwoszki.
Sejurus kemudian, maghrib datang,
aku dan anakku pulang. Membaca doa minum eh anget, aku ambil makan berbuka
secukupnya. Kemudian di depan TV isteriku juga sedang berbuka.
Tadi si Bwoszki memungut uang
Raja, yang jatuh saat ditaruh di papan tukang sate. Lha tak jalok ko malah aku
diantemi dijiwit sampe lecet.
Istriku menjawab, karan bocah.
Lha nek aku tok rak masalah lha
kae mua, rak ngerti opo-opo ditendang. Iki nek diteruske, gak ana sing
diwedeni, kaya apa gedine.
‘Sing penting anake dewe orak
koyo ngono”. Jelas isteriku
“Memang koyok ngono wes porah”
ibu mertuaku ikut menimpali.
“Lha iya memang awak dewe iki
wong cilik, tapi nek gak bener ko dijorke wae Bwoszki iku keterlaluan. Asu-asu….”
Kataku begitu.
Isteriku kemudian terdiam, anakku
sibuk bermain di ranjang. Semua diam dan tidak ada kata lagi. Isteriku tampak
kehilangan selera makan. Semua diam. Dalam pikiran masing-masing. Aku menyudahi
makan buka puasaku. Emosi masih agak tinggi.
Betapa kelakuan anak pejabat,
anak orang terhormat, tidak bisa sopan santun kepada orang tua. Cara bicara,
cara ngomongnya. Bukan dia yang hebat, dia belum apa-apa, dia hanya anak orang
hebat. Dia hanya anak macan, yang macan itu ayahnya. Anak macan tidak takut
pada singa dewasa, hanya karena ayahnya macan. Bahaya, kalau tidak ingat bahwa
dia anak macan sudah diterkam si Singa. Semua orang begitu pola pikirnya.
Si Bwoszki kalau tidak karena
penghormatan orang kepada orang tuanya, saya pastikan sudah akan banyak
menerima hukuman dan umpatan dari warga. Seperti orang lain seusianya, atau
orang lain yang kurang ajar sepertinya.
Yaaaa… Ingat bahwa anak macan
bukan macan. Penghormatan yang diberikan itu pengormatan klise, jangan dipikir
orang saying padamu. Berperilakukah sewajarnya. Anak pejabat bukan pejabat.
Aku tidak pernah kahwatir atau
takut kepada siapapun itu. Termasuk pejabat, kyai, lurah, camat. Semua aku
posisikan pada kodrah bahwa dia manusia. Merasa sakit juga jika dijiwit, merasa
sakit jika dipukul. Aku tidak memukul karena jika dipukul aku merasakan sakit. Dan
Gusti Allah Maha Adil dalam hal ini. PASTI. Ingat anak macan bukan macan. Baru calon
macan, nek kopen dan nek tekan. Diancuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar